Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Dianjurkan bagi orang yang akan melaksanakan ibadah puasa untuk memperhatikan adab-adab berikut ini :
a. Sahur
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Bersahurlah ; karena di dalam santap sahur itu terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari IV: 139 no:139 no:1923, Muslim II : 770 no:1095, Tirmidzi II: 106 no: 703, Nasa’i IV:141 dan Ibnu Majah I: 540 no:1690).
Sahur, dianggap sudah terealisir, walaupun, berdasar hadits dari Abdullah bin Amr r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Bersahurlah, walaupun sekedar setegukan. “(Shahi: Sahihul Jami’us no:2945 dan Sahih Ibnu Hibban VIII : 224 no:884).
Dianjurkan mengakhirkan santap sahur, sebagaimana ditegaskan dalam hadits, dari Anas dari Zaid bin Babit r.a. ia berkata: Kami pernah bersantap sahur bersama Nabi saw. , kemudian beliau mengerjakan shalat, lalu aku bertanya (kepada Beliau), “Berapa lama antara waktu adzan dengan waktu sahur?” Jawab Beliau, “Sekedar membaca lima puluh ayat. “(Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari IV: 138 no 1921, Muslim II : 771 no:1097, Tirmidzi II: 104 no: 699, Nasa’i IV: 143 dan Ibnu Majah I:540 no:1694).
Apabila kita mendengar suara adzan, sementara makanan atau minuman berada di tangan, maka makanlah atau minumlah. Ini mengacu pada hadits, dari Abu Hurairah r.a. bawah Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu mendengar suara adzan (shubuh), sedangkan bejana berada ditangannya, maka janganlah ia meletakkannya (lagi) hingga ia memenuhi kebutuhannya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 607,’Aunul Ma’bud VI:475 no:2333, Mustadrak Hakim I :426).
b. Menahan diri agar tidak melakukan perbuatan yang sia-sia, perkataan kotor dan semisalnya yang termasuk hal-hal yang bertentangan dengan ma’na puasa
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu bepuasa, maka janganlah mengeluarkan perkataan kotor, jangan berteriak-teriak dan jangan pula melakukan perbuatan jahiliyah; jika ia dicela atau disakiti oleh orang lain, maka katakan, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa,” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV:118 no:1904, Muslim II:807 no:163 dan 1151, dan Nasa’i IV:163).
Dari (Abu Hurairah) r.a. bawah Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan pelaksananya, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makan dan minumnya.” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:921), Fathul Bari IV:116 no:1903, ‘Aunul Ma’bud VI: 488 no:2345, Tirmidzi II:105 no:702).
c. Rajin melaksanakan berbagai kebajikan dan tadarus al-Qur’an
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata, “Adalah Nabi saw. orang yang paling dermawan dalam hal kebajikan, lebih dermawan lagi manakal Beliau berada dalam bulan Ramadhan ketika bertemu dengan (malaikat) Jibril. (Malaikat Jibril’alaihisalam bertemu dengan beliau setiap malam pada bulan Ramadhan sampai akhir bulan, Nabi saw. membaca al-Qur’an di hadapannya. Maka apabila Beliau bertemu dengan (Jibril) beliau menjadi orang yang lebih dermawan dalam hal kebaikan daripada angin kencang yang dikirim.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV:30 no:6, dan Muslim II: 1803 no: 2308).
d. Segera Berbuka
Dari Sahl bin Sa’ad r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang (umat Islam) senantiasa berada dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV:198 no:1957, Muslim II: 771 no: 1098 dan Tirmidzi II:103 no:695).
e. Berbuka seadanya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini:
Dari Anas r.a. ia berkata, “Adalah Rasulullah saw. biasa berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr) sebelum shalat maghrib; jika tidak ada (juga), maka Beliau minum beberapa teguk air.” (Hasan Sahihi: Shahih Abu Daud no:2065, ‘Aunul Ma’bud VI:481 no:2339 dan Tirmidzi II:102 no:692).
f. Membaca do’a ketika akan berbuka sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits berikut :
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Adalah Rasulullah saw. apabila akan berbuka mengucapkan, DZAHABA ZHAMA-U WABTALLATIL ‘URUUKU, WA TSABATAL AJRU INSYAA-ALLAH (Telah hilang rasa haus dahaga dan telah basah urat tenggorokan, dan semoga tetaplah pahal (bagi yang berbuka) insya Allah).” (Hasan Shahih Abu Daud no:2066, ‘Aunul Ma’bud VI: 482 no:2340).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.399 -- 403.
a. Niat, ini didasarkan pada firman Allah SWT, "Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (dalam menjalankan) agama dengan lurus."(Al-Bayyinah:5). Dan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang telah diniatkannya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I:9 no:1, Muslim III:1515 no: 1907, ‘Aunul Ma’bud VI: 284 no:2186, Tirmidzi III: 100 no: 1698, Ibnu Majah II: 1413 no:4277 dan Nasa’i I:59).
Niat yang tulus ini harus ditancapkan dalam hati sebelum terbit fajar shubuh setiap malam. Hal ini ditegaskan dalam hadits dari Hafshah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang tidak menetapkan niat puasa sebelum fajar (shubuh), maka tiada puasa baginya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6538, ‘Aunul Ma’bud VII: 122 no: 2437, Tirmidzi :116 no: 726, dan Nasa’i IV: 196 dengan redaksi yang hampir sama).
b. Menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, sejak terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari.
Allah Ta’ala berfirman, "Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.(Al-Baqarah: 187).
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Yang membatalkan puasa ada enam perkara :
a dan b. Makan dan minum dengan sengaja.
Oleh karena itu, jika makan atau minum karena lupa, maka yang bersangkutan tidak wajib mengqadha’nya dan tidak perlu membayar kafarah.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa lupa, padahal ia berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya ia diberi makan dan minum oleh Allah." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6573, Muslim II,809 no:4455 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 155 no: 1923, Ibnu Majah I:535 no: 1673 dan Tirmidzi II: 441 no:717)
c. Muntah dengan sengaja
Maka dari itu, kalau seseorang terpaksa muntah, maka ia tidak wajib mengqadha’nya dan tidak usah membayar kafarah.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang terpaksa yang terpaksa muntah, maka tidak ada kewajiban qadha’ atasnya; dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka haruslah mengqadha!” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6243, Tirmidzi II: 111 no: 716, ‘Aunul Ma’bud VII: no:2363 dan Ibnu Majah I : 536 no: 1676).
d dan e. Haidh dan nifas, walaupun itu terjadi menjelang waktu menghrib.
Hal ini berdasar ijma’ ulama’
f. Jima’, yang karenanya orang yang bersangkutan wajib membayar kafarah sebagaimana termaktub dalam berikut ini :
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, tatkala kami sedang duduk-duduk di samping Nabi saw., tiba-tiba ada seorang sahabat bertutur, “Ya Rasulullah saya celaka,” Beliau bertanya, “Ada apa?" Jawabnya, “Saya berkumpul dengan isteriku, padahal saya sedang berpuasa (Ramadhan), “Maka sabda Rasulullah saw., “Apakah engkau mampu memerdekakan seorang budak?” Jawabnya, “Tidak” Beliau bertanya (lagi), “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Jawabnya, “Tidak” Beliau bertanya (lagi), “Apakah engkau mampu memberi makan enampuluh orang miskin? “Jawabnya, “Tidak”. Maka kemudian Nabi saw. diam termenung ketika kami sedang duduk termenung, tiba-tiba dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma kering. Lalu beliau bertanya, “Di mana orang yang tanya itu?” Jawabnya, “Saya (ya Rasulullah). “Sabda Beliau (lagi), “Bawalah sekeranjang kurma ini, lalu shadaqahkanlah (kepada orang yang berhak).” Maka (dengan terus terang) laki-laki itu berujar, “Akan kuberikan kepada orang yang lebih fakir daripada saya ya Rasulullah ? sungguh, di antara dua perkampungan itu tidak ada keluarga yang lebih fakir daripada keluargaku,” Maka kemudian Rasulullah saw. tertawa hingga tampa gigi taringnya. Kemudian beliau bersabda kepadanya, “(Kalau begitu), berilah makan dari sekeranjang kurma ini kepada keluargamu.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari IV : 163 no: 1936, Muslim II: 781 no: 111, ‘Aunul Ma’bud VII : 20 no: 2373, Tirmidzi II : 113 no: 720 dan Ibnu Majah I : 534 no: 1671).
Para ulama’ sepakat bahwa shiyam, puasa wajib dilaksanakan oleh orang muslim, yang berakal sehat, baligh, sehat, dan muqim (tidak sedang bepergian) dan untuk perempuan harus dalam keadaan suci dari darah haidh dan nifas. (lihat Fihus Sunnah I:506). Adapun tidak diwajibkannya shiyam atas orang yang tidak berakal sehat dan belum baligh, didasarkan pada sabda Nabi saw., “Diangkat pena dari tiga golongan (pertama) dari orang yang gila hingga sembuh, (kedua) dari orang yang tidur hingga bangun dari tidurnya, dan (ketiga) dari anak kecil sampai ihtilam (bermimpi basah)." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:3514 dan Tirmidzi II:102 no: 693).
Adapun tidak diwajibkannya puasa atas orang yang tidak sehat, tapi muqim, mengacu pada firman Allah SWT, “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah. 184).
Namun jika ternyata orang yang sakit dan yang musafir itu tetap berpuasa, maka puasanya mencukupi keduanya. Karena dibolehkannya keduanya berbuka itu hanyalah sebagai rukhshah, keringanan bagi mereka. Maka jika mreka berdua tetap bersikeras untuk mengamalkan ketentuan semula ‘azimah, maka itu lebih baik.
Manakah Yang Lebih Afdhal Berpuasa Atau Berbuka
Jika dengan berpuasa orang yang sakit dan yang musafir tidak mendapatkan kesulitan yang berarti, maka berpuasa lebih afdhal. Sebaliknya jika mereka berdua ternyata menghadapi kesulitan dan kepayahan yang sangat, maka berbuka lebih afdhal.
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata, “Dahulu kami berperang bersama Rasulullah saw. di bulan Ramadhan, maka diantara kami ada yang tetap berpuasa dan ada pula yang berbuka. Orang yang (tetap) berpuasa tidak marah (mencela) kepada yang berbuka dan tidak (pula) yang berbuka kepada yang berpuasa. Mereka berpendirian bahwa barang siapa yang kuat, lalu berpuasa, maka yang demikian itu lebih baik. (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 574, Muslim II:787 no.96 dan 1116, dan Tirmidzi II: 108 no: 708).
Adapun tentang tidak diwajibkannya shiyam atas perempuan yang haidh dan yang nifas, didasarkan pada hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa Nabi saw. bersabda bersabda, “Bukankah bila perempuan datang bulan ia tidak (boleh) shalat dan puasa ? Maka yang demikian sebagai pertanda kekurangan pada agamanya?” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:951 dan Fathul Bari IV: 191 no: 1951).
Apabila perempuan yang haidh atau nifas itu tetap melaksanakan ibadah shiyam, maka tidak cukup dan tidak berguna bagi mereka. Sebab, salah satu syarat wajibnya berpuasa bagi kaum perempuan adalah harus bersih dari haidh dan nifas, sehingga keduanya tetap wajib menqadha’nya.
Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Kami biasa haidh pada zaman Rasulullah saw., lalu kami diperintah menqadha puasa, namun tidak diperintah menqadha’ shalat. (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 630, Muslim I:265 no:355, ‘Aunul Ma’bud I:444 no:259-260, Tirmidzi II: 141 no784 dan Nasa’i IV:191).
Hal-Hal Yang Wajib Dilakukan Kakek Dan Nenek Yang Tua Renta Serta Orang Yang Sakit Menahun Yang Tidak Diharapkan Kesembuhannya
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa karena usianya sudah lanjut, atau karena yang semisalnya, maka harus berbuka puasa dengan syarat ia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) ; memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah:184).
Dari ‘Atha’ bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas r.a. membaca ayati ini, lalu ia berkomentar, “Sesungguhnya ayat ini tidak mansukh, yaitu kakek dan nenek yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa hendaklah masing-masing memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-tiap hari (yang mereka tidak puasa itu).” (Shahih:Irwa’ul Ghalil no:912 dan Fathul Bari VIII:179 no:4505).
Wanita Yang Hamil Dan Yang Menyusui
Wanita yang hamil dan yang sedang menyusui yang merasa berat melaksanakan ibadah shiyam, atau keduanya merasa khawatir mengganggu kesehatan bayinya., bila tetap berpuasa, maka keduanya boleh berbuka dengan mengemban kewajiban membayar fidyah dan tidak ada kewajiban mengqadha’ bagi mereka. Hal ini mengacu kepada riwayat berikut.
Dari Ibnu Abbas r.a. ia bertutur, “Kakek yang sudah tua renta dan nenek yang sudah lanjut usia, yang merasa amat berat melaksanakan ibadah shiyam diberi disepensasi untuk berbuka kalau keduanya mau, dan harus memberi makan seorang miskin setiap hari dan mereka tidak boleh mengqadha. Kemudian ketentuan itu dihapus oleh ayat ini, FAMAN SYAHIDA MINKUMUSY SYAHRA FALSYASHUMU (Karena itu, barang siapa di anara kamu hadir (di negeri/ tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu), dan tetaplah bagi kakek dan nenek yang lanjut usia, bila merasa berat menjalankan shiyam, dan wanit yangh amil dan yang menyusui yang merasa khawatir (mengganggu kesehatan bayinya), agar berbuka dan mereka harus memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-tiap hari (yang mereka tidak puasa itu)”. (Sanadnya kuat diriwayatkan : Baihaqi IV: 230).
Dari Ibnu Abbas r.a. katanya, “Jika wanita yang hamil merasa khawatir terganggu kesehatan dirinya dan wanita yang menyusui khawatir terganggu kesehatan bayinya ketika, berpuasa Ramadhan, hendaklah mereka berbuka dan memberi makan orang miskin sebagai ganti tiap hari (yang mereka tidak puasa itu), dan mereka tidak usah mengqadha’nya.” (Shahih: yang oleh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil IV:19 nisbatkan kepada ath-Thabari no: 2758 dan ia berkata, “Sanadnya shahih menurut persyaratan Imam Muslim).
Dari Nafi’I, ia bertutur, “Seorang puteri Ibnu Umar menjadi isteri seorang laki-laki Quraisy, dan ketika hamil merasa haus dahaga di (siang hari bulan) Ramadhan, lalu diperintah oleh Ibnu Umar agar berbuka dan (sebagai gantinya) agar memberi makan setiap hari satu orang miskin.” (Shahih sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV:20 dan Daruquthni :207 no: 15).
Kadar Banyaknya Makanan Yang Wajib Diberikan
Mengenai hal ini dijelaskan dalam riwayat berikut.
Dari Anas bin Malik r.a. ia mengatakan bahwa ia pernah tidak mampu berpuasa pada suatu tahun (selama sebulan), lalu ia membuat satu bejan tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah. Lihat Kamus al-Munawwir (Penterj.) kemudian mengundang sebanyak tigapuluh orang miskin, sehingga dia mengenyangkan mereka. (Shahih Sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV: 21 dan Daruquthni II: 207 no:16).
Awal bulan Ramadhan ditetapkan melihat hilal, tanggal satu bulan Ramadhan walaupun hanya bersumber dari satu orang laki-laki yang adil, terpercaya, atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Orang-orang pada memperhatikan hilal (bulan Ramadhan), lalu saya informasikan kepada Rasulullah saw. bahwa sesungguhnya saya telah melihatnya. Maka, beliau berpuasa dan memerintah segenap sahabat agar berpuasa.“ (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 908, Fiqhus Sunnah I:367 dan hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dalam ‘Aunul Ma’bud IV: 468 no:2325).
Jika ternyata, hilal bulan Ramadhan tetap tidak terlihat karena tertutup mendung atau semisalnya, maka hendaklah menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, berdasar hadits riwayat Abu Hurairah di atas.
Adapun hilal bulan Syawal, maka tidak boleh ditetapkan adanya, kecuali dengan dua orang saksi laki-laki yang adil.
Dari Abdurrahman bin Zaid bin Khattab, bahwa ia pernah berkhutbah pada hari yang masih diragukan (apakah telah masuk bulan Ramadhan atau belum, pengoreksi), ia berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya aku pernah duduk/belajar kepada para sahabat Rasulullah saw. sambil bertanya kepada mereka, lalu mereka menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berpuasalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan), dan berbukalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan syawal), serta beribadahlah (maksudnya: berhajjah atau berkorbanlah, lihat ‘hasyiah Assindi ‘alaa Nasa’i 4/133 pengoreksi). Padanya. Jika mendung menyelimuti kamu, maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari. Dan jika ada dua orang muslim yang menyaksikan (hilal), maka hendaklah kamu berpuasa dan berbukalah!” (Shahihul Jami’us Shaghir no:3811, al-Fathur Rabbani IX: 264 dan 265 no:50, Nasa’i IV:132-133 tanpa lafadz, “MUSLIMAANI”).
Dari Gubernur Mekkah, al-Harits bin Hathib, ia bertutur, “Rasulullah mengamanatkan kepada kami agar kami melaksanakan ibadah puasa ini bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan); jika kami tidak melihatnya, namun ada dua orang laki-laki yang adil yang menyaksikan (nya), maka kami harus melaksanakan ibadah puasa ini dengan kesaksian mereka berdua!” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 205, ‘Aunul Ma’bud VI: 463 no:2321).
Dengan demikian, sabda Rasulullah saw., “Yaitu jika ada dua orang yang muslim yang menyaksikan (hilal), maka hendaklah kamu berpuasa dan berbukalah” dalam hadits Abdurrahman bin Zaid, dan satu riwayat, “Jika kami tidak melihat hilal (bulan Ramadhan), namun ada dua orang adil yang menyaksikan (nya), maka kami harus beribadah shiyam ini dengan kesaksian mereka berdua” yang terekam dalam riwayat al-Harits bin Hatib ini, pengertian dari keduanya menunjukkan bahwa satu orang laki-laki yang menyaksikan hilal tidak dapat dijadikan sebagai dasar pijakan untuk memulai dan menyudahi ibadah puasa. Kemudian dikecualikan untuk memulai shiyam Ramadhan (boleh dilakukan hanya dengan seorang saksi yang telah melihat hilal), berdasar dalil yang diriwayatkan Ibnu Umar r.a. itu. Tinggallah masalah menyudahi puasa Ramadhan, karena tiada dalil yang membolehkan berbuka puasa dengan kesaksian satu orang laki-laki.” Selesai, periksa Tuhfatun Ahwadzi III : 373-374 dengan sedikit perubahan.
Tanbih “peringatan”:
Barang siapa yang melihat hilal satu Ramadhan atau syawal, sendirian maka ia tidak diperbolehkan berpuasa sebelum masyarakat berpuasa dan tidak pula dan tidak pula berbuka hingga masyarakat berbuka. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Puasa adalah pada hari kamu sekalian berpuasa, berbuka (idul fitri) adalah pada hari kamu sekalian berbuka, dan hari kurban adalah hari kamu sekalian menyembelih binatang korban.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3869, Tirmidzi II:101 no:593).
Hukum Shiyam
Shiyam, puasa Ramadhan, adalah salah satu dari rukun Islam dan salah satu fardhu dari sekian banyak fardhunya. Allah berfirman yang artinya, "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. al-Baqarah:183)
Sampai pada ayat :
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu."(QS.al-Baqarah:185).
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Islam ditegakkan di atas lima perkara; (pertama) bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul utusan-Nya, (kedua) menegakkan shalat, (ketiga) mengeluarkan zakat, (keempat) menunaikan ibadah haji, dan (kelima) berpuasa di bulan Ramadhan." (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari I:106 no:46, Muslim I:40 no:11, 'Aunul Ma'bud II: 53 no:387, dan Nasa'I IV:21).
Keutamaan Puasa Ramadhan
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam sejarah pada hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala di sisi Allah, niscaya diampunilah baginya dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun 'alaih : Fathul Bari I:115 no:1901, Nasa'i IV: 157, Ibnu Majah I: 526 no:1641, dan Muslim I: 523 no:760).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Allah SWT berfirman, "Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Maka, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Shiyam (puasa) adalah sebagai tameng. Oleh karena itu, janganlah berteriak dan jangan (pula) bersikap dengan sikapnya orang-orang jahil. Jika ia dicela atau disakiti oleh orang lain, maka katakanlah, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa', (dua kali). Demi Dzat yang diri Muhammad berada di genggaman-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah pada hari kiamat (kelak) jauh lebih harum dari pada semerbaknya minyak kasturi. Di samping itu, orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan yang dirasakannya; apabila ia berbuka maka ia merasa gembira dengan buka puasanya, dan apabila berjumpa dengan Rabbnya, maka ia berbahagia dengan puasanya.". (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari IV:118 no:1904, Muslim II : 807 no:163 dan 1151 dan Nasa'i IV:163).
Dari Shal bin Sa'ad bahwa Nabi saw. bersabda, "Sejatinya di dalam surga terdapat satu pintu yang disebut Rayyan, pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk (syurga) melalui pintu tersebut, tak seorangpun selain mereka yang boleh masuk darinya. Dikatakan kepada mereka, "Di mana orang-orang yang (rajin) berpuasa ? "Maka segera mereka berdiri (untuk masuk darinya), tak seorang pun selain mereka yang boleh masuk darinya. Manakala mereka sudah masuk (syurga darinya), maka dikuncilah pintu tersebut, sehingga tak seorangpun (selain mereka) yang masuk darinya." (Muttafaqun 'alaih : Fathul Bari IV:111 no: 1896, Muslim II:808 no:1152, Tirmidzi II :132 no:762 dan Ibnu Majah I:525 no:1640 serta Nasa'i IV:168 dengan redaksi yang mirip dan ada tambahan pada Imam yang tiga)
Kewajiban Berpuasa Ramadhan Dengan Melihat Hilal
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berpuasalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Syawal); jika mendung atas kalian, maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari!” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim II:762 no:19 dan 1083 dan ini lafadnya, Fathul Bari IV:119 no: 1909 dan Nasa’i IV:133).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 385--388.
No comments:
Post a Comment