3 bintang realiti TV sertai AF9
BAKAL BERSAING...12 pelajar AF9.
Pengumuman yang diadakan di AEON AU2 Setiawangsa memperkenalkan Ahmad Afif Tirmizie (Afif), 24, bekas peserta program Mystar LG musim pertama manakala Mohamad Azri Abdullah (Azri), 23, menyertai musim kedua program sama.
Seorang lagi pelajar yang pernah menyertai program realiti TV ialah Hairul Najmuddin Abu Samah (Erul), 19, yang pernah menjadi protege Jaclyn Victor.
Bagaimanapun, ketika menyertai program itu Erul tampil secara berkumpulan menerusi kumpulan Evo.
Tidak hanya menampilkan bintang realiti, AF9 turut memperkenalkan adik bintang AF4, Diddy Hirdy iaitu Nur Haidir Muhd (Kay), 22.
Selepas lima kali percubaan bermula musim kelima, tahun ini nasib menyebelahi Kay apabila diterima sebagai keluarga AF9.
Selain itu, Afif mempunyai tali persaudaraan dengan pelakon kacak, Kamal Adli yang muncul dengan filem Kembar Siang.
Melengkapkan kuota enam pelajar lelaki AF9 ialah Mohamad Amirullah Jahari (Amir), 18, dan Fahrur Raqib Abdul Majid (Raqib), 20.
Manakala, pelajar wanita terdiri daripada Lenaber Haidir (Lena), 20, Zulaika Zahari (Laika), 22, Nur Atiqah Shaffudin (Eka), 21, Roshammizah Rosli (Miza), 27, Nur Suhada Jebat (Aida), 18 dan Queennera Francine Francis Kitingon (Nera), 19.
Lebih menarik, semua peserta AF kali ini mempunyai ciri khas suara yang unik serta personaliti tersendiri.
Pada majlis sama, barisan tenaga pengajar turut diperkenalkan. Mereka ialah Syafizawati dan Ning Baizura yang mengendalikan vokal, Adlin Aman Ramlie (seni persembahan), Fatimah Abu Bakar (guru bahasa Inggeris dan motivasi) dan Aris sebagai guru tari.
Hukum Menyanyi dan Musik dalam Fiqih Islam
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita. Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam.
Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita. 2. Definisi Seni Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13). Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik.
Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan. 3. Tinjauan Fiqih Islam Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu: Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’). Kedua, hukum mendengarkan nyanyian. Ketiga, hukum memainkan alat musik. Keempat, hukum mendengarkan musik. Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni) Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik. http://www.ashifnet.tripod.com/),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101): A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian: a. Berdasarkan firman Allah: “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan.
Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6) Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22). b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590]. c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih]. d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda: “Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf]. e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.]. f.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu:
1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan).
2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).” B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian: a. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87). b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya: Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi]. c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata: Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda: “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra]. d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda: “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.
” [HR. Bukhari]. e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata: “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485]. C. Pandangan Penulis Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275). Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih: Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390). Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan: Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239). Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103). 3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian a.
Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’) Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan: Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96). Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya. Demikian pula hukum mendengar nyanyian.
Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda: “Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah]. b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’) Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’).
Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah. Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut. Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104).
Allah SWT berfirman: “Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140). “…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68). 3.3. Hukum Memainkan Alat Musik Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw: “Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24). Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat.
Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16). Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan: “Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57). Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah.
Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah. 3.4. Hukum Mendengarkan Musik a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live) Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya. Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74). b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut. Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan: Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76). Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan: Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga
.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86). 4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami): 1. Musisi/Penyanyi. 2. Instrumen (alat musik). 3. Sya’ir dalam bait lagu. 4. Waktu dan Tempat. Berikut sekilas uraiannya: 1). Musisi/Penyanyi a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler. b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya. c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria.
Ini semua haram. 2). Instrumen/Alat Musik Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah: a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat. b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim. Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. 3). Sya’ir Berisi: a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya) b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya. c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama. e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Tidak berisi: a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb). b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an. c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah. d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya). e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. 4). Waktu Dan Tempat a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya. b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib). c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat). d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur). 5. Penutup Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna
Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi. Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati. Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi] (www.faridm.com) Wallahu a’lam bi ash-showab.
di ambil dari.http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-menyanyi-dan-musik-dalam-fiqih-islam/
Hukum Muzik di sisi Islam
Dan (ingatlah bahawa) kehidupan dunia ini (meliputi segala kesenangan dan kemewahannya, jika dinilaikan dengan kehidupan akhirat) tidak lain hanyalah ibarat hiburan (lahwun) dan permainan dan sesungguhnya negeri akhirat itu ialah kehidupan yang sebenar-benarnya; kalaulah mereka mengetahui (hakikat ini tentulah mereka tidak akan melupakan hari akhirat). [29:64]
Al marhum Syaikh Mahmud Syaltut, bekas rektor al Azhar dalam koleksi Fatwanya, alFatawa (terbitan Darul syuruq, Cairo. 1960) ms 355-359 menjelaskan dengan tegas empat perkara tentang muzik:
Pertama: Mendengar dan bermain alat muzik adalah sama (hukumnya) dengan merasa makanan yang lazat, menghidu bau yang harum, melihat pemandangan yang cantik atau mencapai pengetahuan yang tidak diketahui adalah semuanya keseronokan naluri yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Semuanya memberi kesan menenangkan fikiran apabila kepenatan jasmani dan memberi kesan dalam memulihkan semula tenaga. (Syaikh Syaltut menggunakan hujah Imam alGhazali dalam Ihya Ulumiddin, Jld 2, pg 208.)
Kedua: AlQur’an yang mendasari segala peraturan dan perundangan di atas dasar kesempurnaan dalam Tujuan sentiasa menjaga supaya tidak berlaku keterlaluan dipihak yang tidak menggunakan muzik dan pihak yang menggunakan muzik secara berlebihan. Islam mahukan kesederhanaan.
Ketiga: Fuqaha’ terdahulu membenarkan musik apabila mempunyai konteks yang sesuai seperti muzik iringan ke medan perang, hajji, perkahwinan, perayaan id. Mengikut fuqaha’ Hanafi muzik yang dilarang ialah dengan bersyarat jika ia bercampur dengan sebutan alkohol, gadis penyanyi, fusuq, perzinaan dan keberhalaan. Aku (Syaltut) berpendapat larangan terhadap muzik adalah berdasarkan kpd konteks dan iringannya dengan yang lain dan bukanlah suatu reaksi terhadap muzik itu sendiri.
Keempat: Syaikh Mahmud Syaltut memberi amaran bahawa sesiapa yang berani melarang sesuatu perkara yang tidak jelas dilarang oleh Allah. Dalilnya ialah firman Allah dalam surah al A’raf: 32-33.
Hukum mengenai muzik, pemuzik dan alat muzik mengikut Hujjatul Islam alGhazali (Ihya’ Ulumidin, vol 2, pg 283-301) menjelaskan ada tiga komponen penting yang mempengaruhi hukum muzik yang mungkin berubah dari masa kesemasa: zaman, makan dan ikhwan.
‘Zaman’ merujuk kepada masa, apakah muzik itu melalaikan daripada jihad dan ibadah.
‘Makan’ merujuk kepada suasana, situasi, occasion atau upacara di mana muzik itu dipersembahkan.
‘Ikhwan’ merujuk kepada aktiviti muzik itu; jika dengan muzik itu boleh menyebabkan mereka terdedah kepada manusia yang jahat atau membawa kepada kejatuhan moral.
Menurut al Ghazali inilah tiga komponen yang menjadi neraca bagi muslim di setiap zaman menghukum muzik: zaman, makan dan ikhwan.
So kalau kita lihat pada zaman kita sekarang ini,
Faktor ‘Zaman’ (Masa) : Bagaimana muzik dimainkan? Di setiap masa ada orang mendengar muzik. Sehingga waktu solat disanggahi dengan konsert-konsert dan rancangan-rancangan hiburan. Adakah ini dibolehkan?
Faktor ‘Makan’ (Situasi) : Dalam situasi apakah yg menuntut muzik dimainkan? Hampir di semua situasi, di semua keadaan. Hatta di kedai makan pun diperdengarkan muzik. Konti-konti radio beroperasi 24-jam non stop memperdengarkan muzik.
Faktor ‘Ikhwan’ (Aktiviti) : Muzik-muzik dimainkan di disko2, di konsert2. Malah dipertandingkan di ‘akademi-akademi’. Wujudnya pergaulan bebas di dalam konsert, malah artis-artis terlalu dipuja-puja melebihi para Rasul dan Nabi sendiri.
Ada ramai yg berkata, mendengar muzik untuk menenangkan hati. Saya menjawab,
"…ketahuilah, dengan mengingati Allah maka tenang tenteramlah hati manusia" [13:28]
So kembali kepada persoalan individu. Bolehkah kita mendengar muzik? Maka jawapan saya, boleh selagi mana kita aplikasikan ketiga-tiga faktor di atas kepada diri kita.
Pertama, faktor masa. Adakah dengan mendengar muzik itu melalaikan kita dari kewajipan yg perlu ditunaikan? Kerna sekiranya ya, maka secara automatik jatuh hukum haram ke atas mendengar muzik itu.
Faktor kedua pula, faktor situasi: Adakah situasi kita membenarkan kita mendengar muzik? Contohnya ketika di dalam masjid, ketika azan sedang berkumandang dan sebagainya.
Faktor ketiga pula, adalah aktiviti kita berdasarkan muzik tersebut. Adakah kita sambil mendengar muzik tersebut terjerit terlalak terkinja-kinja seperti kafir mabuk? Adakah ketika mendengar muzik sambil menari2, berduet dengan spesis berlainan jantina dan lain-lain yang sudah zahir menunjukkan ke arah kemungkaran?
Justeru, nak mendengar muzik boleh, sekiranya ketiga-tiga faktor tersebut bersesuaian. Ingat, ketiga-tiganya harus dijaga, barulah hukum mendengar muzik tersebut secara mutlak terpelihara. Kalau salah satunya tidak kena (contoh: masa tidak kena), maka tidaklah jatuh hukum harus ke atas perbuatan tersebut.
Berbalik kepada soalan asal: apakah alat muzik yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan dalam Islam?
Al Ghazali menjelaskan (Ihya’ Ulumiddin, vol2, pg 271-272): tidak ada keterangan yang jelas dari sunnah yang melarang alat-alat muzik bahkan setengah alat muzik yang mempunyai bunyi yang baik tidak dilarang, ia tidak lebih daripada seperti kemerduan suara burung. Ianya dilarang jika ada hubungan atau dikaitkan dengan kumpulan peminum arak, homoseks dan lain-lain yang dilarang.
Sekian, wallahua’lam.
Permasalahan Mengenai Muzik dan Hukum Mendengar Muzik serta Nyanyian
Membincangkan mengenai hukum muzik dan nyanyian ianya akan memenatkan kita kerana persoalan ini ialah ibarat satu persoalan fitrah yang berlawanan dengan hukum.
Permasalahan muzik dan nyanyian ini termasuk perkara syubhat yang tidak diketahui akan hukum sebenarnya secara jelas lantaran ianya secara fitrah berlaku dan terjadi dengan meluas dan secara hukum tidak menyebut keharaman dan larangan secara terang.
Dalam hadith baginda rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas dan di antaranya ialah perkara musytabihat (syubhat-syubhat) yang tidaklah diketahui oleh ramai orang” (hadith sahih riwayat Bukhari no. 19).
Fitrah manusia memerlukan hiburan dan muzik serta nyanyian menjadi salah satu hiburan semulajadi yang disukai fitrah manusia. Siapa yang tidak senang dengan muzik dan nyanyian.
Apakah itu muzik dan nyanyian ? Sebenarnya kedua perkara ini tidak sama, rasanya biarlah pakar seni dan muzik menjelaskan kepada kita apakah itu muzik dan apakah pula itu nyanyian.
Cukup saya simpulkan muzik ialah seni bunyi, dan nyanyian ialah seni suara iaitu secara mudah, muzik ialah bunyi-bunyian yang menghiburkan dan terhasil dari alatan atau dari satu komponan yang diatur menghasilkan irama yang merdu.
Dalam bahasa arab, muzik disebut sebagai al-ma'azif iaitu ialah jamak dari mi’zaf. Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diertikan sebagai al malahi (alat-alat muzik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.
Permasalahan muzik dan nyanyian ini termasuk perkara syubhat yang tidak diketahui akan hukum sebenarnya secara jelas lantaran ianya secara fitrah berlaku dan terjadi dengan meluas dan secara hukum tidak menyebut keharaman dan larangan secara terang.
Dalam hadith baginda rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas dan di antaranya ialah perkara musytabihat (syubhat-syubhat) yang tidaklah diketahui oleh ramai orang” (hadith sahih riwayat Bukhari no. 19).
Fitrah manusia memerlukan hiburan dan muzik serta nyanyian menjadi salah satu hiburan semulajadi yang disukai fitrah manusia. Siapa yang tidak senang dengan muzik dan nyanyian.
Apakah itu muzik dan nyanyian ? Sebenarnya kedua perkara ini tidak sama, rasanya biarlah pakar seni dan muzik menjelaskan kepada kita apakah itu muzik dan apakah pula itu nyanyian.
Cukup saya simpulkan muzik ialah seni bunyi, dan nyanyian ialah seni suara iaitu secara mudah, muzik ialah bunyi-bunyian yang menghiburkan dan terhasil dari alatan atau dari satu komponan yang diatur menghasilkan irama yang merdu.
Dalam bahasa arab, muzik disebut sebagai al-ma'azif iaitu ialah jamak dari mi’zaf. Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diertikan sebagai al malahi (alat-alat muzik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.
Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.
Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79).
Nyanyian pula ialah dari seni suara manusia yang keluar dari mulut dengan mempunyai pengertian dan kata-kata baik sajak, syair atau lagu yang membawa mesej tertentu disamping dipersembahkan dengan mengawal irama suara dan nada tinggi rendah supaya menghasilkan tidak hanya lagu itu dinyanyikan untuk menyampaikan maksudnya sebaliknya juga turut mengutamakan kesedapan dan kemerduan penyampaian sesuatu lagu itu.
Dalam bahasa arab, nyanyian itu disebut sebagai "al- ghina"
Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus).Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”
Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)
Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’ (nyanyian)
Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :
Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktiviti manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.
Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangisan dan rengekkan anak kecil mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)
Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahawa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.
Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)
Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandungi sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)
Secara kesimpulan, baik muzik yang merupakan bunyi-bunyian yang terhasil dari alatan ciptaan manusia seperti gitar, kecapi, serunai, seruling atau lain-lain atau pun bunyi yang terhasil dari semulajadi tetapi disusun oleh manusia seperti bunyi air yang mengalir di sunyai tetapi di atur batu-batu dan pengaliran air dalam lubang-lubang kayu supaya menghasilkan bunyian merdu atau di susun lubang-lubang pokok di tengah padang bagi menghasilkan bunyian merdu apabila di tiup angin semuanya merupakan satu kesedapan dan fitrah manusia menyukai hal ini.
Begitulah juga nyanyian manusia , ianya jika diteliti sama sahaja seperti seseorang wanita yang sangat cintakan suaminya lalu berkata :" Oh kekanda, datanglah peluk dinda…" sudah pasti nada suara wanita itu manja dan dihasilkan kalimah katanya itu dengan penuh perasaan dan penumpuan dan suaranya itu jika dirakam pasti sedap dan indah.
Begitu juga penyanyi, mereka sudah bijak menghasilkan lagu yang mempunyai makna-makna indah dan kemudian menyanyikan bagi menghiburkan. Seperti ibu yang menyanyikan anaknya, seperti bapa yang mengendong anak kecilnya lalu mengiburkannya dengan bacaan nasyid, qasidah atau zikir dengan nada merdu dan nyaring maka demikianlah nyanyian.
Nyanyian hukumnya tidak haram secara mutlak, dan secara segi hukum baik nyanyian, muzik tidaklah haram namun akibat dari beberapa keadaan maka jadilah muzik atau nyanyian itu haram.
Terlebih dulu membincangkan soal hati dan fitrah manusia,
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rosak maka rosaklah pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu 'anhuma).
Dalam hadith di atas, kita berdepan dengan masalah hati dalam menentukan kedudukan muzik dan nyanyian.
Ini kerana, seperti yang dibaca oleh saudara sekalian tulisan saya di atas, muzik atau nyanyian merupakan fitrah manusia yang terlahir dari kehidupan.
Saya sendiri sebagai ustaz, pernah terkadang nyanyian kecil dalam hati saya walau tidak sampai terkeluar ke mulut dan saya yakin tiada sesiapa pun tidak pernah menyanyi walau para ulamak termasuk Imam Masjidil Haram misalnya sewaktu beliau masih kecil dan bermain-main bersama rakan mana mungkin tidak pernah menyanyi ??
Bermula dari ibu menyanyikan anak dengan zikir-zikir seperti : lailahaillallah x 20 ketika menghayunkan buaian anaknya…bukankah sang ibu itu melantunkan zikir itu dengan nada enak merdu supaya anaknya tidur ?
Termasuk perbuatan ibu itu dalam kategori nyanyian secara umum jadi kesimpulannya hukum muzik itu atau nyanyian bergantung kepada keadaan dan syarat tertentu yang membuatkan ianya haram atau halal dan ini akan kita bincangkan.
Demikianlah ketika di bilik air, ramai manusia menyanyi ketika mandi sama ada menyebut " la,la, la, la, la, la, " atau seorang yang kesedihan , atau seorang yang sedang bercinta sekalipun dirinya tidak menyanyi maka dirinya tetap akan tersentuh dengan lagu dan nyanyian dari orang lain terutamanya apabila nyanyian dan muzik (bunyian) itu sangat menyedihkan dan sayu sehingga mampu membuatkan seseorang itu menangis.
Contohnya, sebuah lagu dalam bahasa English yang saya sudah lupa penyanyinya, iaitu berbunyi :
" Please tell me the word to say
The road to take
To find the way back to your heart …
Sesiapa yang pernah terpisah dengan kekasihnya kemudian berhasrat untuk kembali kepada kekasihnya itu apabila terdengar lagu ini secara tidak sengaja pasti tertarik merasakan lagu ini menangisi dan mengicahkan hidupnya.
Bukankah lagu dan muzik itu menandakan fitrah manusia dan dekatnya dengan hati manusia ?
Begitu juga seseorang yang sangat mencintai kekasihnya maka dirinya pasti akan tersentuh dengan lagu dari Richard Max :
" Wherever you go, what ever you do , I will be right here waiting for you….!! Treng…treng..teng…teng…lupalah lama dah tak dengar lagu…
Kembali kepada persoalan apakah hukum muzik dan lagu
Maka setelah difahami bahawa lagu dan muzik merupakan fitrah maka dengan ini wajarlah kita memegang kepada suatu kaedah usul fiqh iaitu : Asal hokum sesuatu itu ialah harus (lihat Qawaid fiqhiyah m/s 179 oleh Dr Abd Karim Zaidan).
Juga Firman Allah swt :
"Belum tahukah kamu, bahawa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Dia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmat-Nya yang terlihat mahupun yang tidak kelihatan." (Luqman: 20).
Islam telah pun sempurna dan syariat Islam yang di bawa oleh rasulullah telah pun selesai menentukan segala persoalan hukum tanpa perlu-perlu di tambah oleh sesiapa pun walau oleh para ulamak. Dalam hal ini Allah swt berfirman :
"Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia." (an-Nahl: 116)
Menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah merupakan suatu dosa besar yang hampir menyamai syirik oleh yang demikian maka dalam penentuan hukum para ustaz dan para ulamak diperlukan memiliki kebolehan dan pemikiran yang luas dalam menentukan keputusan supaya tidak melampaui batas tanpa ilmu.
Sabda baginda rasulullah : “Perkara yang Halal itu ialah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab (Al-Qur’an) dan apa yang haram itu ialah apa yang diharamkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan apa yang didiamkan olehnya maka ianya termasuk apa yang dimaafkan kepada kalian” (hadith hasan riwayat Tirmidzi no. 1726, Ibn majah, Hakim).
Jadi dalam persoalan muzik dan nyanyian tiada sesiapa yang dapat menentukan hukumnya baik halal atau haram secara membuta tuli melainkan dengan telah menilai secara ilmiah hujah dan dalil di samping memerhatikan beberapa perkara yang menentukan kehalalan dan keharaman.
Kaedah Penghukuman Muzik dan Nyanyian
Setelah meneliti pelbagai hujah maka kita akan mendapati hukum muzik itu dan nyanyian tergantung di atas beberapa neraca pertimbangan iaitu :
- Niat dan tujuan sesuatu Muzik atau Nyanyian dibuat
- Kesan sesuatu muzik atau nyanyian itu kepada pendengarnya
- Isi Kandungan lagu atau nyanyian tersebut
- Cara perlakuan & pelaksanaan muzik atau nyanyian itu
- Keadaan waktu muzik atau nyanyian itu dilakukan
Perkara di atas menjadi sebab dan punca halal atau haramnya muzik dan nyanyian berdasarkan kajian para ulamak dan hasil telitian menurut hujah dan dalil yang diperbahaskan sekian lama oleh fuqaha Islam.
Tidaklah haram lagu " Hijau" nyanyian Zainal Abidin hanya kerana peminat yang mendengarkan lagunya semuanya perempuan yang tidak menutup aurat di stadium atau kerana mereka berbogel sekalipun maka tidaklah haram lagu atau nyanyian Zainal Abidin itu sebaliknya biarpun Kumpulan Raihan yang bernasyid yang sekalipun yang mendengarnya ialah para mufti, para fuqaha dan wali-wali maka ianya tetap akan menjadi haram apabila wujudnya cacat disebabkan oleh salah satu dari 4 perkara yang disebutkan oleh keadah di atas.
1) Niat dan Tujuan sesuatu muzik dan nyanyian itu dibuat
Sesuatu matlamat atau tujuan itu menjadi pokok dan urusan penting serta penentuan penerimaan atau penolakannya. Muzik atau nyanyian tidak terkecuali dari perlu diteliti menurut tujuan dan matlamat dilakukannya.
Di sebut dalam hadith baginda salallahualaihiwasalam yang diriwayatkan dari Umar ibn Khatab ra :
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امريء ما نوى
“ Sesungguhnya setiap amal itu dengan niat, dan bagi amalnya (balasan pada amalnya) dengan apa yang diniatkan” (Hadith Sahih, Muttafaqun Alaih –Disepakati oleh Bukhari no. 41 & Muslim no.158).
Sesuatu perbuatan itu tidaklah sia-sia dilakukan melainkan pasti wujud tujuan dan matlamat. Dalam soal muzik dan nyanyian maka ianya terbahagi kepada dua keadaan :
a) Tanpa mempunyai tujuan dan niat
b) Mempunyai tujuan dan niat
Muzik atau nyanyian yang dilakukan tanpa tujuan dan niat, seperti perbuatan secara fitrah dan semulajadi atau kebiasaan manusia seperti nyanyian kegembiraan dan semangat atau nyanyian kesedihan maka hal ini tidaklah menjadi pertikaian bahawa dimaafkan dan dibolehkan kecuali dalam beberapa keadaan yang menjadikan ianya haram seperti nyanyian kesedihan ketika kematian.
Walaubagaimanapun hal ini diterhadkan kepada hujah bahawa sesuatu yang dilakukan tanpa niat dan tujuan merupakan termasuk sesuatu yang sia-sia seperti disebut dalam hadith riwayat Abu Hurairah ra bahawa baginda bersabda : “Sebaik perkara dalam Islam ialah meninggalkan apa yang tidak berkaitan denganya (tidak penting)” (hadith hasan riwayat tirmidzi).
Adapun pada muzik dan nyanyian yang dilakukan dengan mempunyai niat dan tujuan maka ianya dilihat pada niatnya apakah berniat baik atau buruk. Ini kerana dalam kaedah fiqhiyah juga turut menyebut “ Sesuatu itu terhukum melalui apa yang diniatkannya” (lihat Al-Wajiz fi usul fiqh m/s 11). Iaitu sekiranya diniatkan baik maka ianya diterima dan dibenarkan sekiranya sebaliknya maka ianya ditolak dan diharamkan.
Misalnya, seseorang yang bernyanyi dengan menyebut kalimah : “The life is not easy…I feel lonely” atau pun dirinya bernasyid : “ Al-hayah laisa sahlan ..wa ana asy’uru wahdi..(hidup ini tidak mudah…aku merasa seorang diri)
Sebenarnya, nasyid dan nyanyi itu sama sahaja Cuma orang kita lebih nampak nasyid itu keagamaan dan nyanyi itu lagu bukan agama sedangkan itulah hasil pemikiran sekuler sebaliknya keduanya sama sahaja.
Baik lagu atau nasyid jika haramnya lagu maka haramlah juga nasyid…maka di sinilah kaedah yang empat ini memainkan peranan menimbulkan beza di antara nyanyian yang halal atau haram baik nasyid atau lagu maka perlu diteliti.
Niat kebaikan itu misalnya bernyanyi demi menghilangkan kejemuan dan memberi semangat diri dan memujuk diri maka ini dibolehkan. Demikian juga perbuatan melakukan perubatan dengan menggunakan muzik.
Seperti wujud rawatan moden mengunakan kaedah terapi bunyi dan gelombang dengan menenangkan pesakit jiwa dan mental menggunakan muzik dan bunyi-bunyian indah. Maka ini dibolehkan dan bahkan Al-Qur’an itu sendiri disuruh supaya dilagukan seperti sabda baginda salallahuaalihiwasalam : “Barangsiapa yang yang tidak melagukan Al-Qur’an maka bukanlah dari kalangan kami” (Hadith riwayat Abu Daud dengan isnad jayyid).
Juga tidak salah seorang ibu melagukan zikir dan lagu-lagu yang baik maknanya kepada anak kecilnya atau sebenarnya lebih baik dibacakan ayat suci Al-Qur’an kepada anaknya secara lagu maka ianya dibolehkan semuanya.
Namun apabila menjadikan muzik dan nyanyian sebagai hiburan dan diperkembangkan sehingga melalaikan manusia, demi mencari kemewahan dunia, demi kepopularan dan keglamouran maka ini sudah pasti diharamkan dan sekalipun jika dibuat demi kebaikan namun apabila melanggar kaedah yang lain pula maka tetap ianya haram.
2) Kesan sesuatu muzik atau nyanyian itu kepada pendengarnya
Menyebut mengenai kaedah pertama ini, maka kita akan mendapati bahawa dalam Islam kesan dan akibat itu menentukan kehalalan atau keharaman sesuatu perkara ini seperti para fuqaha menjatuhkan hukum haram ke atas rokok akibat kemudharatan dan keburukkannya.
Firman Allah swt :
“Dan Dia menghalalkan bagi mereka segala benda yang baik, dan mengharamkan kepada mereka segala benda yang jijik (keji, buruk)" (Surah Al-A‘raf, ayat 157).
“Janganlah kamu mencampakkan diri-diri kamu kepada kebinasaan ” (Surah Al-Baqarah, ayat 195).
Demikianlah dengan nyanyian dan muzik, maka hukum nyanyian dan muzik itu ditentukan dengan melihat kepada kesannya kepada umat Islam apakah ianya membawa kebaikan dan kerosakan.
Kadar pengharaman muzik dan nyanyian dinilaikan berdasar kepada akibat kesan buruk yang dibawa olehnya ini seperti menurut kaedah fiqhiyah “Kemudharatan itu dicegah dengan kadarnya” (lihat Al-Wajiz fi Qawaid fiqhiyah m/s 91 oleh Dr Abd Karim Zaidan).
Dalam hal ini maka para fuqaha, melihat kesan nyanyian dan muzik itu kepada hati manusia disebabkan hati merupakan perkara asas dalam kehidupan dan jiwa manusia selain dari nyawa dan akal.
Hati ibarat jiwa dan nyawa manakala akal ialah keilmuan dari hasil pengalaman yang menentukan baik dan buruk namun sekalipun hebat akal manusia ianya tetap tidak sepenting peranan hati.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rosak maka rosaklah pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu 'anhuma).
Melihat kepada hadith di atas, kita mempelajari bahawa hati itu penting dan menjadi asas kebaikan dan kejahatan manusia, dalam soal penentuan hukum muzik dan nyanyian maka sejauh manakah muzik dan nyanyian itu mempengaruhi hati manusia dan apakah kepada kebaikan dan keburukan maka di situlah letaknya kaedah di atas dalam menghalalkan dan mengharamkan nyanyian.
Nyanyian dan Muzik yang melalaikan
Para ulama banyak yang mengharamkan lagu dan nyanyian apabila mereka menemui ianya melalaikan dan melekakan manusia dan hujah ini ialah benar dan tidak dapat di tolak.
Iaitu sekiranya di dapati nyanyian itu atau sesuatu muzik itu melalaikan dan mempengaruhi minda dan jiwa seseorang misalnya menjadi lebih ekstrim dan buruk atau mempengaruhi peribadinya kepada kejahatan maka nyanyian dan muzik itu tidak syak lagi ialah haram.
Ini berdasarkan kepada
Firman Allah Ta’ala :
“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (Luqman : 6)
Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.
Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya.
Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :
“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335) .
Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).
Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.” Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143. Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.
Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145).
Dan pengaruhilah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan.
Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325).Mujahid --dalam kitab yang sama-- menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.
Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa hairan. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (An Najm : 59-61).
Kata ‘Ikrimah --dari Ibnu Abbas--, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”
Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (muzik-muzik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52).
Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59).
Secara kesimpulan apabila sesuatu muzik dan lagu itu melalaikan maka hukumnya ialah haram dan berdosa kerana sesuatu yang melalaikan itu bererti melupakan manusia dari tanggungjawabnya sebagai hamba dan kewajipan syariat.
Seperti arak diharamkan kerana ianya memabukkan maka demikianlah juga muzik dan nyanyian diharamkan jika ianya melalaikan dan melekakan.
Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda : “Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang kerana alat-alat muzik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah akan membenamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46).
Dari Abi ‘Amir --Abu Malik-- Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda : “Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat muzik ” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath).
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, iaitu suara ketika gembira, iaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaitan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaitan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53).
Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku --atau mengharamkan-- khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan ialah haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56).
Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan ditenggelamkan ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, bilakah hal itu akan terjadi?” Baginda menjawab : “Jika telah tersebarnya alat-alat muzik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64).
Kesemua dalil dan hujah di atas secara jelas mengharamkan muzik dan nyanyian tanpa mengira apakah disebabkan ianya berpunca dari jenis bertali atau tidak bertali.
Pedulikan apa jenisnya, selagi ianya melalaikan maka ianya tetap haram dan membawa kepada dosa. Sekalipun nasyid In Team dan UNIC dengan lagu mereka berjudul kasih kekasih dapat membuatkan muslimat bertudung labuh tergedik-gedik berangan lelaki, membuatkan muslimat berjubah menghayun kepalanya kiri dan kanan sambil menikmati sedapnya lagu itu berkhayal maka jelas sekali haramnya nasyid ini.
Adapun apabila lagu kumpulan “ Scorpian” atau kumpulan “Fuck Ass Jackson” melagukan sebuah lagu misalnya bertajuk “ My mother” yang memuji ibu dan menjadikan pendengarnya menghargai ibu serta menghasilkan mesej dan kesan yang baik dan tidak melalaikan maka ianya jadi halal.
Demikian juga sekiranya wujud kumpulan bernama “ Your Father Is Hitler” menyanyikan lagu yang apabila kita mendengarnya kita menjadi kuat bekerja dan tidak mahu membuang masa maka menjadikan ianya harus.
Sebaliknya apabila kumpulan nasyid menasyidkan lagu cinta dan cinta-cintaan Islam konon-kononnya maka ianya jelas haram kerana melalaikan dan mengkhayalkan.
Ini bahkan jelas seperti yang dimaksudkan dengan hadith yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya membawakan hadis Abu Malik Al-Asy‘ari (dirajihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Pasti akan ada golongan daripada umatku yang menghalalkan zina, sutera, arak dan al-ma‘azif (alat bunyi-bunyian)" (Hadis sahih, riwayat Al-Bukhari).
Hadith ini juga disebut oleh Syeikh Al-Albani dalam Al-Shahih. Beliau telah menjelaskan bahawa hadis ini hadith maushul, shahih al-isnad dan tidak seperti yang didakwakan oleh Ibnu Hazm. Ulama telahpun menolak pendapat-pendapat yang melemahkan hadis ini, seperti Imam Ibnu Al-Qayyim, al-Hafiz dan lain-lain.
Manakala perkataan yastahillun (يستحلون) bermakna "mereka menghalalkan" dalam hadith ini memberi makna bahawa zina, sutera, arak dan ma‘azif (alat bunyi-bunyian dan nyanyian itu) adalah tidak halal (haram) tetapi mereka menghalalkannya juga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah pun menyebutkan zina, sutera dan arak dalam hadis ini, sedang sedia dimaklumi bahawa zina dan arak itu telah sabit haramnya dalam Al-Qur‘an dan sunnah dengan tidak boleh dibantah-bantah lagi.
Kemudian Baginda menyambung pula dengan menyebutkan ma‘azif (sebagai penegasan) bahawa ma‘azif itu juga sama hukumnya iaitu haram seperti zina, sutera dan arak.
Mengapa Baginda menyebut dan menghimpunkannya bersama dengan zina dan arak pada hal keduanya itu telahpun sabit dan dimaklumi akan haramnya?
Kemudian datang lagi perkataan yastahillun (mereka menghalalkan). Mafhum daripada perkataan ini, bahawa walaupun benda-benda itu sudah jelas hukum haramnya namun akan terdapat daripada kalangan umat Baginda yang mahu menghalalkannya (bahkan ia sudah pun berlaku sekarang ini).
Maka ini menjelaskan kepada nasyid yang seolah dianggap halal oleh umat Islam kerana namanya berubah bukan lagi nyanyian sebaliknya ini ialah nasyid bukan lagu.
Sebenarnya nasyid itu menjadi lebih haram dari lagu kerana tidak susah menjatuhkan hukum kepada lagu dan nyanyian sebaliknya lantaran lagu dipersaluti dengan agama menjadikan kesamarannya lebih gelap dan menyusahkan dan kesan nasyid itu lebih merosakkan apabila lagu hanya merosakkan orang awam namun tidak sampai mengugat orang yang beragama namun nasyid kini merosakkan semua golongan sehingga kanak-kanak sekolah agama dan ustazah-ustazah bertudung labuh dan berjubah yang berjoget-joget sekalipun tidak dengan badan tapi hati kecilnya berjoget.
Maka jika muzik dan nyanyian itu tidak menglalaikan maka ianya tidaklah diharamkan apabila tidak ada membawa kesan buruk sebaliknya memberikan manfaat dan kebaikan dalam hal ini Allah swt befirman :
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9).
Tidaklah Allah mengharamkan kepada kita anak-anak atau pun harta sebaliknya yang diharamkan ialah lalai maka demikianlah juga muzik dan nyanyian tidaklah diharamkan jika tidak sampai kepada membawa kelalaian atau keburukan.
Namun hakikat realitinya hari ini semua muzik membawa keburukan dan kelalaian dan kefasikan dan kerosakan. Sehingga seorang penyanyi boleh merosakkan pelbagai generasi dengan hanya bermodal satu atau dua buah lagu sahaja.
3) Isi Kandungan nyanyian atau muzik tersebut
Di antara penyebab dan punca pengharaman dan penghalalan sesuatu perkara seperti muzik dan nyanyian ini ialah isi kandungannya yang perlu diteliti apakah ianya mengisi kebaikan atau kejahatan.
Firman Allah swt :
“ Jauhilah kamu akan najis (kekotoran) iaitu dari berhala (syirik) dan perkataan keji (bohong, palsu dan kotor)” (Surah Al-Hajj : 30).
Menurut Imam Ibn katsir ra dalam tafsirnya menyebut perkataan keji itu ialah bermaksud perkataan dusta dan saksi palsu atau rekaan (Tafsir Ibn Katsir m/s 659 Jilid 2).
Sesungguhnya pegisian dalam lagu atau nyanyian serta muzik itu juga menentukan kehalalan atau keharaman. Sekiranya yang diisi dan dinyanyikan itu ialah kata-kata kotor dan lucah serta keji, penuh dengan maksud yang buruk dan bercanggah dengan Islam maka sesungguhnya tidak syak lagi lagu atau nyanyian itu ialah haram.
Demikian juga bunyian dan muzik, jika terhasil dari sesuatu bunyian yang kotor misalnya muzik itu berbunyi suara ghairah wanita dan bunyian persetubuhan dan dirakam serta dimuzikkan maka ianya jelas haram. Serta juga suara-suara kotor dari wanita yang memerdukan suara mereka sehingga menaikkan syahwat maka ini juga haram.
Firman Allah swt :"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya ." (Al Ahzab: 32).
Suara wanita tidaklah aurat dan bukanlah haram kita mendengar suara mereka jika bekeperluan tetapi adalah sebaliknya dan disepakati bahawa suara wanita itu menjadi haram jika ianya demi hiburan dan keseronokkan maka bukankah suara wanita penyanyi itu demi menghiburkan pendengar lelaki dan bukankah ianya dilakukan dengan melunakkan suaranya serta memerdukan sehingga menimbulkan keseronokkan lelaki maka ini jelas haram seperti firman Allah swt di atas.
"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32).
Jelas sekali haramnya lagu-lagu dan nyanyian wanita yang berada dalam suasana hari ini kerana mereka menyanyikan dengan penuh lunak enak merdu dan menyeronokkan sedang Islam menghadkan untuk bercakap kepada lelaki itu sahaja pun seorang wanita tidak boleh melunakkan dan merendahkan suaranya sehingga menimbulkan tarikan maka apalagi jika sememangnya nyanyian itu sudah untuk menarik pendengar dan menyeronokkan dan menghiburkan maka jelas sekali haramnya.
Sudah terbukti lagu wanita “ oh sayang…” atau pelbagai lagi apabila penyanyi wanita menyanyi jika yang mendengarnya lelaki normal pasti terasa seram sejuk dan anggota dalam seluarnya pasti mengeras kuat namun jika tidak mengeras maka nyatalah itu lelaki tidak normal dan perlu mencari ubatan tradisional atapah lagi jika melihat wanita itu menari-nari dan berjoget ghairah. Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang dapat membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya "berpenyakit."
Namun, dengan ini bukan bererti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap lelaki . Perhatikan hujung ayat 32 dari surah Al-Ahzab di atas apabila Allah menyebut :
"Dan ucapkanlah perkataan yang baik" (Al-Ahzab : 32).
Iaitu dibolehkan wanita berbicara dengan lelaki tetapi bukan menyanyi atau memerdukan suara kepada mereka jadi maka tidak mungkin nyanyian itu dibuat dengan tanpa memerdukan suara dan tanpa tidak menarik perhatian maka jika demikian tidak nama menyanyi tetapi bercakap. Mana ada artis penyanyi naik di atas pentas dan bercakap dengan baik sebaliknya semuanya menyanyi dan meneran sekuat-kuatnya suara mereka serta melunakkan dan meneriakkan suara mereka sesedap yang mungkin.
Maka inilah yang diharamkan dan dilarang dalam Islam. Isi kandungan muzik dan nyanyian itu terdiri dari senikata, maksud lagu apakah bermaksud yang baik, serta suara penyanyi yang menyanyikan. Jika lelaki maka hukumnya haram suaranya didengari oleh wanita kerana hukumnya sama seperti lelaki yang haram mendengar suara wanita yang melunakkan percakapan yang menimbulkan ransangan dan demikian wanita yang jika mendengar suara lunak lelaki boleh membuatkan cair hatinya sehingga terkeluar cecair di farajnya maka hukumnya ialah haram.
4) Cara perlakuan & pelaksanaan muzik atau nyanyian itu
Perlakuan dan pelaksanaan muzik atau nyanyian itu juga menentukan apakah ianya halal atau haram. Ini kerana jika sesuatu nyanyian itu dinyanyikan dengan merentak-rentak badan sambil berjoget dan mengerakkan badan maka hukumnya ialah haram. Demikian juga jika dinyanyikan sambil berjoget dan menimbulkan ransangan seksual syahwat maka juga haram.
Juga dimaksud dengan cara pelaksanaan ialah berlakunya nyanyian itu dengan menutup aurat dan tidak melanggar batas-batas syariat seperti tidak menimbulkan finah dan terdedah kepada lain jantina.
Dalam hal ini maka di ambil faedah dari
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 30).
Ini berlaku apabila nyanyian atau muzik itu dilakukan dnegan percampuran lelaki dan wanita, dinyanyikan secara berduet dan bergandingan dan mendengarnya pun secara beramai-ramai maka hukumnya ialah haram dan ditegah.
Juga dari ayat di atas menjadi dalil bahawa tidak boleh melihat perempuan yang bukan mahram sebaliknya seorang yang beriman harus menundukkan pandangannya maka apa cerita dan keadaannya apabila sampai ke konsert dan melihat lelaki perempuan berjoget dan menari ? Jawabnya ialah haram secara jelas.
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 31).
Demikianlah para wanita Islam yang mengaku Islam dan beriman, apa ceritanya ini para muslimat-muslimat bertudung labuh, berjubah sambil mengaku solehah, tergedik-gedik menangkap gambar dengan kamera digital mereka akan konsert serta artis nasyid pujaan mereka dan melekatkan stiker dan poster artis nasyid mereka ?
Baik abang Raihan, baik abang Hijjaz, baik abang In-Team atau adik-adik comel UNIC mereka ini semua merupakan lelaki yang mempunyai zakar diulangi mereka ini semuanya lelaki yang mempunyai zakar maka apa ceritanya apabila muslimat-muslimat solehah kononnya menonton konsert nasyid dan bergambar mesra, menikmati suara nyanyian indah mereka sambil berangan-angan dan bernasyid –nasyid ?
Sedang Allah swt telah berfirman : "Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 31).
Dan Rasulullah saw. bersabda: "Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah dosa bagimu." (Hadith sahih riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Maka dalam hal ini cara pelakuan sesuatu nyanyian atau muzik itu jika dilakukan dalam suasana menjaga syariat seperti tidak wujud percampuran lelaki dan perempuan, misalnya penyanyi perempuan menyanyi hanya untuk wanita dan penyanyi lelaki menyanyi hanya untuk lelaki dan tidak melakukan aksi gila seperti menari-nari dan berjoget menunjukkan pusat, menutup aurat maka ianya dibolehkan.
Pendapat yang mengunakan hujah dibolehkan nyanyian lelaki dan wanita dipetik dari Dr. Yuosf Al-Qaradhawi menyebut : Dalam sahih Bukhari dan Muslim menyebut bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi salallahualaihiwasalam ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar mengherdiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian Rasulullah saw membalas : "Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya." Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahawa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang.
"Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Aisyah pernah mengahwinkan salah seorang kerabatnya dengan Ansar, kemudian Rasulullah s.a.w. datang dan bertanya: Apakah kamu akan memberi hadiah kepada gadis itu? Mereka menjawab: Benar ! Rasulullah s.a.w. bertanya lagi. Apakah kamu kirim bersamanya orang yang akan menyanyi? Aisyah menjawab: Tidak! Kemudian Rasulullah bersabda: Sesungguhnya orang-orang Ansar adalah suatu kaum yang merayu. Oleh karena itu alangkah baiknya kalau kamu kirim bersama dia itu seorang yang mengatakan: kami datang, kami datang, selamat datang kami, selamat datang kamu" (Riwayat Ibnu Majah) .
"Dan dari Aisyah r.a. sesungguhnya Abu Bakar pernah masuk kepadanya, sedang di sampingnya ada dua gadis yang sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari Mina (Idul Adha), sedang Nabi s.a.w. menutup wajahnya dengan pakaiannya, maka diusirlah dua gadis itu oleh Abubakar. Lantas Nabi membuka wajahnya dan berkata kepada Abubakar : “ Biarkanlah mereka itu Wahai Abubakar, sebab hari ini adalah hari raya (hari bersenang-senang)." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Imam Ghazali dalam Ihya'nya setelah membawakan beberapa hadith tentang bernyanyinya dua orang gadis itu, permainannya orang-orang Habasyah di dalam masjid Nabawi yang didukungnya oleh Nabi dengan kata-katanya: karena kamu, aku melihat wahai Bani Arfidah, dan perkataan Nabi kepada Aisyah: engkau senang ya Aisyah melihat permainan ini; dan berdirinya Nabi bersama Aisyah sehingga dia sendiri yang bosan serta permainan Aisyah dengan boneka bersama kawan-kawannya itu, kemudian Ghazali berkata: Bahawa hadith-hadith ini semua tersebut dalam Bukhari dan Muslim dan merupakan nas yang tegas, bahwa nyanyian dan permainan, bukanlah haram.
Pendapat ini ditolak dan kurang tepat kerana :
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:
"Iklankanlah pernikahan dan kamu pukullah rebana di atas pernikahan itu".
Menyanyikan lagu-lagu yang senikata atau liriknya tidak terkeluar daripada kaedah dan adab-adab Islam dengan iringan duff itu tidak harus memukulnya selain daripada majlis pernikahan menurut pendapat yang masyhur, tetapi lawan pendapat yang masyhur, harus memukul (alat rebana) dalam semua upacara majlis kegembiraan orang Islam. (Al-Majmuk : 23/58 & Majmuk Fatawa wa Rasail : 181-182).
Pengarang risalah Nushh Al-‘Uqala’ bima Ja’a fi Tahrim Alat Al-Lahw wa Al-Ghina, Fadhilah Al-Syeikh Umar Sulaiman Al-Asyqar pula telah mengemukakan satu ulasan yang bernas lagi menarik, katanya: "Al-Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dengan keluasan ilmu, penyelidikan dan dakwahnya, namun beliau telah tersilap daripada kebenaran dalam perkara ini. Kata-katanya (pendapatnya) itu adalah taqlid jua, terikut-ikut dengan pendapat orang-orang sebelumnya, seperti Al-Imam Ibnu Hazm dan lain-lain. Ia sudah dibantah dengan keterangan-keterangan berdasarkan hadis-hadis Nabi yang warid oleh ulama-ulama".
Al-Syeikh Al-Albani seorang pakar hadis dari Syria pada abad ini juga telah memberikan jawapan yang bernilai terhadap apa yang disebutkan oleh pengarang buku "Halal dan Haram". Mula-mula beliau mengulas hadith ‘Aisyah seperti berikut: "Daripada ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bahawa Abu Bakar pernah masuk menemuinya, sedang di sampingnya dua anak perempuan sedang menyanyi dan memukul gendang pada Hari Mina (‘Idul Adha), ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menutup wajah Baginda dengan pakaiannya. Abu Bakar menengking kedua anak perempuan itu. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka wajahnya dan bersabda: "Biarkan mereka, wahai Abu Bakar kerana hari ini adalah Hari Raya." (Hadis Shahih Muttafaq ‘Alaih, dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1: 242,252), Muslim (3:22), Al-Nasa’I (1:236) dan Ahmad (6:33,84, 99,127, 134)
Al-Albani memberikan kesimpulan mengenai hadis di atas bahawa kesilapan Ibnu Hazm berpunca daripada kewahamannya, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang Abu Bakar menegah dua budak perempuan itu secara mutlak bukannya daripada pengakuan (ikrar) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap dua anak perempuan tersebut. Kerana yang demikian itu menunjukkan dalil keharusan yang berkaitan dengan menyanyi pada hari raya dan memukul duff, adapun selain daripada itu, semuanya ditegah (sebagaimana pertunjuk daripada hadis-hadis yang tsabit yang mengharamkan ma‘azif dan alat-alat yang ditiup), dan harus menyanyi itu bagi anak-anak kecil perempuan sebagaimana yang diperjelaskan oleh para ulama. (Tahrim Alat At-Tharb: 113)
Ibnu Al-Jauzi berkata: "Dan kenyataannya bahawa dua anak perempuan itu adalah anak-anak kecil dan ketika itu Aisyah masih kecil dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkan dua orang anak perempuan itu bermain dengannya". (Talbis Iblis : 1/239)
Dalam hal ini Al-Albani juga berkata: "Pada saya ada satu juz yang mengandungi bantahan terhadap risalah Ibnu Hazm yang mengharuskan alat-alat muzik, di mana dalam juz ini saya sertakan sama semua hadis yang warid (yang benar-benar datangnya daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) yang mengharamkan ma‘azif, dan saya juga memberikan kritikan ilmiyah dan penjelasan, bahawa Ibnu Hazm telah tersilap dari kebenaran ketika melemahkan sebahagian besar dari hadis-hadis itu".
Beliau juga menjelaskan bahawa kata-kata Al-Ghazali mengenai hadith Aisyah sebagai nash yang menunjukkan nyanyian itu tidak haram, adalah kata-kata ini batal dalam pandangan ulama, kerana hadith berkenaan itu khas pada nyanyian dua kanak-kanak perempuan kecil memalu duff pada Hari Raya. Inilah perkara yang diakui oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ada pun orang yang menjadikannya sebagai dalil bagi mengharuskan nyanyian secara mutlak daripada wanita-wanita ajnabi (bukan mahram) yang sudah dewasa dan mengharuskan memetik apa jua alat muzik seperti gambus dan sebagainya, maka adalah perkara ini tidak syak lagi terkeluar daripada kebenaran dan dari jalan orang-orang yang insaf serta membawa hadith ini kepada makna yang tidak tepat".
Dengan ini memberi pengertian bahawa perkara tersebut memang ianya tidak harus selain pada Hari Raya, kecuali yang dikecualikan oleh syara‘ melalui nash yang lain, seperti duff di majlis perkahwinan menurut qaul yang masyhur dalam mazhab Syafi‘e. (Al-Majmuk : 23/58 & Majmuk Fatawa wa Rasail : 181-1820).
5) Keadaan waktu muzik atau nyanyian itu dilakukan
Keadaan dan masa perlakuan muzik dan nyanyian itu juga menjadi ukuran kerana dibolehkan nyanyian itu secara syariat pada waktu khas seperti waktu perkahwinan dan hari raya dengan tidak melampaui batas dan melanggar hukum syarak.
"Daripada ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha bahawa Abu Bakar pernah masuk menemuinya, sedang di sampingnya dua anak perempuan sedang menyanyi dan memukul gendang pada Hari Mina (‘Idul Adha), ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menutup wajah Baginda dengan pakaiannya. Abu Bakar menengking kedua anak perempuan itu. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membuka wajahnya dan bersabda: "Biarkan mereka, wahai Abu Bakar kerana hari ini adalah Hari Raya." (Hadis Shahih Muttafaq ‘Alaih, dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1: 242,252), Muslim (3:22), Al-Nasa’I (1:236) dan Ahmad (6:33,84, 99,127, 134).
Manakala dalam waktu tertentu seperti waktu kematian dan waktu lain yang membawa kepada kelalaian dan fitnah maka muzik dan nyanyian akan menjadi dosa dan fitnah. Contohnya seperti waktu solat dan telah azan menandakan tiba waktu solat maka ketika itu nyanyian dan muzik wajib dihentikan dan disegerakan untuk menunaikan kewajipan kepada Allah swt.
Jika dilakukan pada keadaan waktu ibadah seperti waktu solat maka hukumnya tidak syak lagi haram kerana melalaikan dari menunaikan ibadah wajib kepada Allah swt. Juga apabila ketika berada di tempat ibadah seperti di musim haji atau pada bulan puasa iaitu sewaktu kita diminta perbanyakkan ibadah maka kewujudan muzik dan nyanyian akan menjadi kelalaian dan fitnah kepada hati."Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata:
"Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." (Al- Qashash: 55).
Ayat di atas menunjukkan sikap umat Islam bahawa perlu menjauhi ayat-ayat dan perkataan yang tidak bermanfaat termasuk muzik dan nyanyian dan segera kembali mengingati Allah swt dalam setiap perkara.
“Barangsiapa yang mengingini Allah dan hari akhirat (balasan) maka hendaklah mengingati Allah dengan banyak” (Al-Ahzab : 21).
“Iaitu orang-orang yang mengingati Allah ketika berdiri dan duduk dan waktu berbaring dan mereka memikirkan kejadian langit dan bumi..” (Ali Imran : 191).
Oleh yang demikian, dalam menentukan kehalalan dan keharaman muzik dan nyanyian pada hari ini maka penulis lebih menyetujui mengharamkan sekadar mencegah kemudharatan muzik dan nyanyian yang sekarang ini secara realiti sudah begitu parah dan menggila maka satu hukum tegas dan keras diperlukan bagi mencegah umat Islam dari terus menuju ke lembah kehancuran lalu pengharaman muzik dan nyanyian sememangnya patut dan wajar.
"Di antara manusia ada yang membeli perkataan yang dapat melalaikan untuk menyesatkan (orang) dari jalan Allah tanpa disedari, dan dijadikannya sebaqai permainan. Mereka itu kelak akan mendapat siksaan yang hina." (Luqman: 6)
Dalam ayat di atas benar sekali jika ditujukan kepada golongan penyanyi dan mereka yang suka mendengar muzik dan nyanyian. Ini kerana membeli perkataan yang melalaikan dapat dimaksudkan dengan nyanyian yang tidak membawa manfaat untuk melalaikan diri sendiri dan asyik seronok dan berhibur maka bukankah hiburan itu termasuk dari hasil perbuatan permainan maka walaupun para ulamak yang menafsirkan ayat ini dengan maksud yang lain namun menafsirkannya dengan suasana sekarang dengan memperumpamakan kepada nyanyian dan muzik tidaklah lari dan salah.
Pendapat yang dipilih
Memilih mengharamkan dan mencegah muzik dan nyanyian yang melalaikan dan merosakkan umat Islam itu satu keperluan dan menjadi kewajipan kerana inilah pendapat yang paling benar.
Bahkan dalam kaedah usul juga menyebut “ Mencegah kemudharatan itu lebih utama dari merawatinya” (lihat Al-Wajiz Fi Qawaid Fiqhiyah m/s 99). Maka dalam persoalan muzik dan nyanyian , kita menerima mana yang dapat dinilai sebagai bermanfaat dan tidak melalaikan sebaliknya menolak mana yang merosakkan dan membawa fitnah.
Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, dia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan dia terus berjalan sampai ku katakan tidak. Setelah itu dia meletakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan).
Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan muzik-muzik orang zaman sekarang (zaman beliau).
Dari Abi ‘Amir --Abu Malik-- Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda : “Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat muzik ” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath).
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (muzik-muzik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52).
Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahawa pendalilan dengan hadith-hadith ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat muzik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi mahupun yang mendengarkanya.”
Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadith ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69).
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.
Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaitan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila dia tidak mampu memperindahkannya, syaitan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih).
Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, dia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaitan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”
Dalam kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.” Orang itu bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak saudaraku, jika Allah memisahkan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu berada?”
Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab : “Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.”
Dan Ibnul Qayyim menerangkan bahawa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang bebas dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari iringan muzik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan ranting, tepukan tangan, dan sebagainya.
Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawapan ini (jawapan Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306).
Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahawa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para oleh muhaqqiq sebagai orang-orang Jabriyah. Mereka adalah orang-orang yang rendah kemahuannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan, … .” (Muntaqa Nafis halaman 308)
Asy Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306).
Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina. (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318).
Dalam kitab yang sama (halaman 318), disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan.”
Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati dan mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307).
Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kau tanamkan dalam pendidikan akhlaknya adalah benci pada alat-alat muzik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah dari syaitan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”
Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar) kitabnya, Tahrimus Sima’, menyebutkan :
[ … oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini secara terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin. Allah ta’ala berfirman :
“Dan siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum Mukminin, Kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahanam sedangkan jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” ( An Nisa’ : 115) ]
Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik, apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah segera dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib. Ketika beliau ditanya tentang adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain muzik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”
Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak diperselisihkan di kalangan mereka. Madzhab Imam Hanafi ini termasuk madzhab yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas dalam perkara ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan sepotong ranting. Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan, dan ditolak persaksiannya.
Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengar nyanyian dan muzik adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika bunyi muzik itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu izin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika tidak boleh masuk tanpa izin, terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban ini.”
Kemudian Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’i dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.
Para shahabat Imam Syafi’i yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan musik dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’i) mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh. Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah. (Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsati Lahfan halaman 301).
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :
“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya. Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi’i) membolehkan keduanya (nyanyian dan muzik).
Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari shahabat-shahabat beliau adalah dalam permasalahan ‘bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’
Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini.
Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan. Maka siapa saja yang meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan (rukhshah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah mengomentari pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman halaman 303)
Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia --dengannya-- dari Al Qur’an.” (Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya’ Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304)
Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari (seorang imam ahli lughah dan adab bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54)
Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan ‘illahnya (alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, --padahal at taghbir itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh) terhadap dunia, para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau dengan mendecakkan mulut sesuai irama lagu--, maka bagaimana pula ucapan beliau apabila mendengar nyanyian yang ada di jaman ini, at taghbir bagi beliau bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan?!
Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah, puteranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankan aku.” (Lihat Mawaridul Aman 305).
Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya. Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajlis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52).
Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya, jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah.
Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk. Oleh sebab itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian.” (Muntaqa Nafis 307)
Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman halaman 320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya, sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh, mereka adalah suatu kaum yang merupakan doktor-doktor hati, mereka mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”
Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan. Dan kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan air.”
Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Kerana sesungguhnya Al Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya. Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan sangat bertolak belakang.
Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan (syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya. Al Qur’an juga melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan. Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al Qur’an.
Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang (dianggap) menyenangkan.
Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat, kewibawaan, dan kecermelangan akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam, dan manisnya Al Qur’an akan tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecermelangan akalnya telah pula menjauhinya,.
Akibatnya syaitan bergembira menyambut keadaan ini. Imannya pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Qur’an menjadi sesuatu yang berat baginya. Lalu ia (iman itu) berdoa kepada Rabbnya : “Ya Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuh-Mu dalam hati (dada) yang sama.”
Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah dia sembunyikan. Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepala, bahu, menghentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.
Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”
Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik) terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara khusus.
Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.
Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau perselisihan yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman halaman 322).
Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.
Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-nya. Inilah intinya nifak.
Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq (taat).
Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Qur’an, sedangkan nifak sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil dan amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’.
Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya zikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat sedikitnya zikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini :
“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (QS. An Nisa’ : 142).
Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan diri dengan zikrullah, nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan dan pemahaman para shahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengubatannya.” (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323).
" Dan berilah peringatan kepada mereka yang berpaling dari perintah Allah bahawa akan menimpa mereka dari fitnah atau azab yang pedih" (Surah An-Nur : 63).
Hukum perempuan main alat muzik bertali
Assalamualaikum Warahmatullah.Persoalan berkaitan hukum bolehlah kita bahagikan kepada dua bahagian;
Pertama:Hukum alat muzik bertali
Kedua:Hukum perempuan bermain alat muzik.
Berikut beberapa kesimpulan dari pandangan ulama-ulama mazhab berkenaan penggunaan alat muzik bertali seperti gitar dll:
Mazhab Hambali.
Haram: Segala alat muzik yang ditiup dan bertali seperti seruling dan gitar serta lain-lainnya.
Mazhab Shafie.
Haram: Segala alat muzik bertali, bertiup dan segala alat muzik yang dipalu melainkan kompang. Seperti seruling dan gitar serta lain-lainnya.
Mazhab Maliki.
Haram: Menggunakan alat-alat muzik yang bertali seperti gitar dan lain-lainnya.
Mazhab Hanafi.
Haram: Semua jenis alat muzik kecuali kompang.
Di sana berlaku perselisihan ulama-ulama dalam membincangkan dalil-dalil yang digunakan oleh ulama-ulama mazhab dalam permasalahan alat-alat muzik yang dibenarkan dan tidak dibenarkan oleh syarak. Namun saya tidak bercadang untuk membahaskan dalil-dalil tersebut secara terperinci.
Setelah meneliti pandangan-pandangan ulama pelbagai mazhab maka dapat disimpulkan di sini bahawa halal menggunakan semua jenis alat muzik. Ini kerana tiada dalil yang sahih dan terang bagi mengharamkan jenis-jenis alatan muzik itu. Syeikh Dr. Yusuf al-Qardhawi menyokong pendapat ini seperti tertulis dalam kitabnya al-Islam Wa al-Fanu.
Pada pandangan saya pengharaman sesuatu alat muzik mungkin akan berlaku kerana adanya unsur-unsur lain seperti maksiat dan kelalaian terhadap tuntutan agama bersamanya. Namun perlu diingatkan bahawa kita hendaklah sentiasa meraikan ijtihat-ijtihat ulama muktabar kita dalam sesuatu masalah yang dikemukakan. Saya sarankan agar kita dapat meninggalkan perkara-perkara yang tidak berfaedah.
Kedua;
Berkaitan dengan perempuan memainkan alat muzik tersebut.Jika kita mengikut pandangan ulama yang mengharuskan penggunaan alat muzik bertali maka perempuan juga boleh memainkan alat tersebut.persoalan yang timbul ialah dimana ia memainkannya dan keadaan bagaimana ia memainkannya?Jika ia memainkan alat tersebut di hadapan lelaki yang ajnabi dalam keadaan yang boleh menimbulkan fitnah dan nafsu syahwat pasti ianya diharamkan.pengharaman bukan kerana alat muzik tetapi disebabkan cara dan keadaan si pemainnya.
Segala kesalahan dan kecacatan dari penulisan saya ini harap dapat diperbetulkan segera oleh sahabat-sahabat sekalian.
No comments:
Post a Comment